Bab
1
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Fraktur
merupakan suatu keadaan dimana terjadi di istregritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan tetapi factor lain seperti proses
degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner &
Suddarth, 2008 ). Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress atau beban yang
lebih besar dan kemampuan tulang untuk mentolelir beban tersebut. Fraktur dapat
menyebabkan disfungsi organ tubuh atau bahkan dapat menyebabkan kecacatan atau
kehilangan fungsi ekstremitas permanen,selain itu komplikasi awal yang berupa
infeksi dan tromboemboli (emboli fraktur) juga dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cedera, oleh karena itu radiografi sudah memastikan
adanya fraktur maka harus segera dilakukan stabilisasi atau perbaikan fraktur(
Brunner & Sudart, 2002)
Badan kesehatan dunia
(WHO) mencatat terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden
kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Usman (2012)
menyebutkan bahwa hasil data Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) tahun 2011, di
Indonesia terjadinya fraktur yang
disebabkan oleh cedera yaitu karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma
tajam / tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak
1.775 orang (3,8 %), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, mengalami
fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5 %), dari 14.127 trauma benda tajam / tumpul,
yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7 %). (Depkes 2009) Dan menurut
data depkes 2005 kalimantan timur korban fraktur akibat dari kecelakaan
berkisar 10,5%, sedangkan bedasarkan data yang diperoleh dari catatan medical
record di rumah sakit islam samarinda, data pada tahun 2012 (periode januari –
juni ) didapatkan 14 kasus fraktur, sedangkan untuk bulan juli ada 7 kasus
fraktur.
Dampak
masalah dari fraktur yaitu dapat mengalami perubahan pada bagian tubuh yang
terkena cidera, merasakan cemas akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang di
rasakannya, resiko terjadinya infeksi, resiko perdarahan, ganguan integritas kulit
serta berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya, selain itu
fraktur juga dapat menyebabkan kematian. Kegawatan fraktur diharuskan segera
dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan fisik. Kecacatan
fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui mobilisasi persendian yaitu
dengan latihan range of motion (ROM). Range of motion adalah latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry,
2005). Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera
mungkin. Hal tersebut perlu dilakukan sedini mungkin pada klien post operasi
untuk mengembalikan kelainan fungsi klien seoptimal mungkin atau melatih klien
dan menggunakan fungsi yang masih tertinggal seoptimal mungkin.
Berdasarkan masalah
dan komplikasi yang terjadi akibat fraktur maka, kelompok kami akan
memberikan asuhan Keperawatan tentang fraktur agar meminimalkan komplikasi yang
terjadi.
1.2
Tujuan
penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Untuk
menguraikan asuhan keperawatan medical bedah dengan fraktur femur tertutup
dextra
1.2.2 Tujuan khusus
Untuk
menguraikan hasil dari pelaksanaan asuhan keperawatan dengan fraktur femur
dextra tertutup yang meliputi :
1. Mengumpulkan
data dari hasil pengkajian keperawatan
dengan fraktur femur dextra tertutup
2. Mengidentifikasi
masalah dan menegakan diagnosa keperawatan dengan fraktur femur dextra tertutup
3. Menyusun
rencana tindakan keperawatan dengan fraktur femur dextra tertutup
4. Melaksanakan
tindakan keperawatan dengan fraktur femur dextra tertutup
5. Melakukan
evaluasi hasil asuhan keperawatan dengan fraktur femur dextra tertutup.
6. Mendokumentasi
hasil asuhan keperawatan dengan fraktur femur dextra tertutup
1.3
Manfaat
penulisan
Dapat menambah
perkembangan ilmu pengetahuan keperawatan medical bedah khususnya asuhan
keperawatan dengan fraktur femur dextra tertutup kepada mahasiswa.
1.4
Sistematika penulisan
Makalah ini
terdiri dari 3 bab yang sistematis disusun sesuai berikut Bab 1 Pendahuluan,
terdiri dari latar belakang,tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika penulisan.Bab 2
Tinjauan pustaka, terdiri dari konsep dasar dan konsep asuhan keperawatan.Bab 3
Tinjauan kasus, menguraikan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan dengan
fraktur femur dextra tertutup yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi, dan evaluasi
Bab
2
Tinjauan
Pustaka
2.1
Konsep dasar
2.1.1
Pengertian
Fraktur
atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer & Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur biasanya
disebabkan oleh trauma atau tegangan fisik. (Mansjoer ,2002)
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian. (Muttaqin,. 2008 )
2.1.2 Etiologi fraktur
Smeltzer & bare
(2002) menyebutkan penyebab fraktur dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu
:
1.
Trauma lansung : kecelakaan lalu lintas
2.
Trauma tidak lansung : jatuh dengan
ketinggian dengan berdiri atau duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang
3.
Proses penyakit (osteoporosis yang
menyebabkan fraktur yang patologis)
4.
Secara spontan di sebabkan oleh stress
tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas
di kemiliteran
5.
Serta kelainan bawaan sejak lahir,
dimana tulang seseorang sangat rapuh sehingga mudah patah.
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi fraktur
adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum, pembuluh darah di
korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan
kerusakan jaringan di ujung tulang. Terbentuklah hematoma di canal medulla.
Pembuluh-pembuluh kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya., menyerap
hematoma tersebut, dan menggantikannya. Jaringan ikat berisi sel-sel tulang
(osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam
kalsium dalam jaringan ikat yang di sebut callus. Callus kemudian secara
bertahap dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran kelebihannya oleh
osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang. Pada permulaan akan terjadi
pendarahan disekitar patah tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh
darah pada tulang dan periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini
kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler
didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling
menempel, fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan
fragmen patah tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Kedalam hematoma dan
jaringan fibrosis ini kemudianjuga tumbuh sel jaringan mesenkin yang bersifat
osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk
kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini
mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat foto rontgen. Pada
tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan
kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.
2.1.4
Tanda dan Gejala (pending)
Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut
Smeltzer & Bare (2002) antara lain:
a.
Deformitas
Daya
tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
1. Rotasi
pemendekan tulang
2. Penekanan
tulang
b.
Bengkak
Edema
muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.
c.
Ekimosis dari perdarahan subculaneous
d.
Spasme otot, spasme involunters dekat
fraktur
e.
Tenderness
f.
Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot
berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang
berdekatan
g.
Kehilangan sensani (mati rasa, mungkin
terjadi dari rusaknya saraf/ perdarahan)
h.
Pergerakan abnormal
i.
Shock hipovolemik hasil dari hilangnya
darah
j.
Krepitasi
2.1.5 Klasifikasi Fraktur Femur
a.
Fraktur tertutup (closed), bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b.
Fraktur terbuka (open/compound), bila
terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1. Derajat
I
a)
luka kurang dari 1 cm
b)
kerusakan jaringan lunak sedikit tidak
ada tanda luka remuk
c)
fraktur sederhana, tranversal, obliq
atau kumulatif ringan
d)
Kontaminasi ringan
2. Derajat
II
a)
Laserasi lebih dari 1 cm
b)
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas,
avulse
c)
Fraktur komuniti sedang
3. Derajat
III
Terjadi
kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi
a. Fraktur
complete adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergerseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur
incomplete adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang.
2.1.6 Komplikasi
a.
Komplikasi segera (immediate) :
Komplikasi yang terjadi segera setelah fraktur antara lain syok neurogenik,
kerusakan organ, kerusakan syaraf, injuri atau perlukaan kulit.
b.
Early Complication : Dapat terjadi
seperti osteomelitis, emboli, nekrosis, dan syndrome compartemen.
c.
Late Complication : Sedangkan komplikasi
lanjut yang dapat terjadi antara lain stiffnes (kaku sendi), degenerasi sendi,
penyembuhan tulang terganggu (malunion)
2.1.7 Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan
diagnostic pada pasien fraktur adalah sebagai berikut :
a.
Pemeriksaan sinar-X untuk membuktikan
fraktur tulang
b.
Scan tulang untuk membuktikan adanya
fraktur stress
2.1.8 Penatalaksanaan
a.
Fraktur Reduction
1.
Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi
non bedah penyusunan kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap
posisi otonomi sebelumnya
2.
Penurunan terbuka merupakan perbaikan
tulang terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal
viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang
intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
b. Fraktur
Immobilisasi
1. Pembalutan
(gips)
2. Eksternal
Fiksasi
3. Internal
Fiksasi
4. Pemilihan
Fraksi
c. Fraksi
terbuka
1. Pembedahan
debridement dan irigrasi
2. Imunisasi
tetanus
3. Terapi
antibiotic prophylactic
4. Immobilisasi
2.2
Konsep
asuhan keperawatan
Pola asuhan
keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari
pengkajian yang diambil adalah merupakan respon klien, baik respon
biopsikososial maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan
perawatan untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan klien,
diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana keperawatan.
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian
adalah dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara
keseluruhan. Pada tahap ini semua data atau informasi tentang klien yang dibutuhkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa
keperawatan (Gaffar, 2004)
Pengkajian
dilakukan secara langsung dan tidal langsung melalui observasi keadaan umum
klien, wawancara dengan klien dan keluarga pemeriksaan fisik dari kepala sampai
ujung kaki dengan tehnik inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perfusi.
Pengkajian pada klien dengan fraktur
menurut Doenges (2000) adalah:
a. Aktivitas
atau istirahat
Tanda:
keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera,faraktur itu sendiri atau terjadi secara skunder dari pembengkakan
jaringan, nyeri).
b. Sirkulasi
Tanda:
hipertensi(kadang-kadang terlihat sebagai respon nyeri / ansietas) atau hipotensi
(kehilangan darah) takik kardi(respon stress,hipovolemia) penurunan atau tak
ada nadi pada bagian yang cidera.
c. Nyeri
Gejala:
nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (mungkin terlokalisasi pada jaringan
atau kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ) : taka da nyeri
akibat kerusakan saraf Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
d. Keamanan
Tanda
: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna pembengkakan
local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
e. Neurosensori
Gejala:
Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot, kebas/ kesemuttan
Tanda:
Deformitas local, angulasi abnormal, pemendekan rotasi, krepitasi, ( bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan,/ hilang fungsi. Angitasi ( mungkin
berhubungan dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain).
f. Penyuluhan
atau pembelajaran
Gejala:
lingkungan cidera.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
NANDA (North
American Nursing Diagnosis Association ) menyatakan bahwa diagnosa keperawatan
adalah peniliaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas
terhadap masalah kesehatan dan proses kehidupan aktual atau potensial, sebagai
dasar dalam memilih intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan
keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat (disetujui pada konferensi
ke-9,1990 dalam buku Diagnosa kepeawatan NANDA edisi 2007-2008, hal. 332).
Semuanya diagnosa keperawatan harus didukung oleh data, oleh NANDA diartikan
sebagai defenisi karakteristik yang dinamakan dengan tanda (sesuatu yang dapat
diobservasi) dan gejala (sesuatu yang dirasakan oleh klien.
Menurut carpenitto (2007) diagnosa yang
muncul pada pasien dengan fraktur yaitu:
a. Nyeri
akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan imobilitas
b. Hambatan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan trauma jaringan sekunder akibat fraktur
c. Resiko
infeksi yang berhubungan dengan alat fiksasi invasive
d. Deficit
perawatan diri mandi dan eliminasi yang berhubungan dengan keterbatasan
pergerakan sekunder akibat fraktur
e. Kurang
aktifitas pengalih yang berhubungan dengan kejenuhan monoton sekunder akibat
alat imobilisasi
f. Resiko
hambatan pemeliharaan rumah yang berhubungan dengan (contohnya ) alat fiksasi, hambatan
mobilitas fisik,tidak tersedianya sistem pendukung
g. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program
trapeutik yang berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang kondisi,
tanda dan gejala komplikasi, pembatasan aktifitas.
Adapun diagnosa keperawatan yang timbul
pada pasien dengan fraktur menurut buku Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien oleh Doenges, (2000) adalah
sebagai berikut :
a.
Resiko terjadi trauma berhubungan dengan
kehilangan integritas tulang (fraktur).
b.
Nyeri berhubungan dengan spasme otot,
pergerakan fragmen tulang, oedem, trauma pada jaringan lunak, stress, cemas.
c.
Resiko terjadi disfungsi neuromusculer
periferal berhubungan dengan trauma jaringan, oedema, yang berlebihan, adanya trobus,
hipovolemia, terhambatnya aliran darah.
d.
Resiko terjadi gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan gangguan peredaran
darah / emboli lemak, perubahan membran alveolar / capiler.
e.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan neuromuscular, nyeri, restriktif terapi, imobilisasi.
f.
Resiko terjadi gangguan integritas kulit
/ jaringan berhubungan dengan adanya fraktur pemasangan gips / traksi, gangguan
sirkulasi.
g.
Resiko terjadi infeksi berhubungan
dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ( rusak kulit, jaringan prosedur
invansif, traksi tulang ).
h.
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi,
prognosa dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya penjelasan, salah
menafsirkan informasi, tidak terbiasa dengan sumber informasi( tambah
carpenito)
2.2.3 Intervensi
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu di buat
perencanaan intervensi keperawatan dan aktifitas keperawatan. Tujuan
perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah
keperawatan klien. Terhadap perencanaan keperawatan adalah penentuan prioritas
diagnosa keperawatan penetapan sasaran (goal) dan tujuan (objektif), penetapan
kriteria dan merumuskan intervensi keperawatan.
Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan “SMART”
S : Spesifik,
tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda
M : Measereble,
tujuan keperawatan harus dapat di ukur, khususnya tentang perilaku klien, dapat dilihat, di dengar, di
raba, dan dirasakan
A : Achievable,
tujuan harus dapat di capai
R : Reasonable,
tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan secar ilmiah
T : Time,
tujuan harus ada batas waktu pencapaian.
Intervensi pada kasus klien dengan fraktur berdasarkan
diagnosa yang ada menurut Carpenito 2007 adalah:
a. Nyeri
akut
Tujuan: individu
menyatakan peredaan setelah suatu tindakan peredaan yang memuaskan yang
dibutuhkan oleh (sebutkan)
Indicator
1. Menyebutkan
factor-faktor yang meningkatkan nyeri
2. Menyebutkan
intervensi yang efektif
3. Menyatakan
bahwa orang lain memastikan bahwa nyeri memang ada
Intervensi
1. Kurangi
adanya pengetahuan
2. Beri
informasi yang akurat untuk mengurangi rasa takut
3. Hubungkan
kegunaan anda tentang respon individu terhadap nyeri
4. Bicarakan
alas an individu mengalami peningkatan atau penurunan nyeri
5. Beri
individu kesempatan untuk istarahat siang dan dengan waktu tidur yang tidak
terganggu pada malam hari (harus istirahat bila nyeri mereda)
6. Bicarakan
dengan individu dan keluarga penggunaan terapi distraksi, serta metode peredaan
nyeri lain
7. Ajarkan
metode distraksi selama nyeri akut
8. Ajarkan
tindakan pereda nyeri noninvasive yaitu relaksasi
9. Beri
individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesic
10. Beri
informasi yang akurat untuk meluruskan kesalahan konsep pada keluarga
11. Beri
individu kesempatan untuk membicarakan ketakutan, marah, dan frustasi di tempat
tersendiri; pahami kesukaran situasi
b. Mobilitas,
hambatan fisik
Tujuan:
individu melaporkan peningkatan kekuatan
dan ketahanan tungkai
Indicator:
1. Memperlihatkan
penggunaan alat-alat adaftif untuk meningkatkan mobilitas
2. Menggunakan
tindakan pengamanan untuk meminimalkan kemungkinan cidera
3. Menguraikan
rasional intervensi
4. Menunjukan
tindakan untuk meningkatkan mobilitas
Intervensi
1. Rujuk
pada sindrom disuse untuk intervensi pencegahan komplikasi mobilitas
2. Ajarkan
untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat
sedikitnya 4 kali sehari
3. Posisi
dalam kesejajaran tubuh untuk mencegah komplikasi
4. Beri
mobilisasi progresif
5. Dorong
penggunaan lengan yang sakit jika memungkinkan
6. Minta
individu untuk memperagakan, latihan penguatan, latihan rentang gerak.
c. Defisit
perawatan diri
Tujuan: individu
melaksanakan aktifitas mandi pada tingkat optimal yang diharapkan atau
melaporkan rasa puas dengan pencapaian meskipun dengan keterbatasan
Indicator:
1. mengungkapkan
perasaan nyaman dan puas tentang kebersihan tubuh
2. mendemonstrasikan
kemampuan untuk menggunakan alat bantu adaftif
3. menggambarkan
fraktur penyebab dari kurangnya kemampuan untuk mandi
intervensi
1. dorong
individu untuk mengenakan alat bantu yang ditentukan
2. pertahankan
kehangatan suhu kamar mandi: suhu air yang di sukai individu
3. beri
privasi selama mandi rutin
4. sediakan
seluruh perlengkapan mandi dalam jangkauan individu
5. beri
perlengkapan yang adaftif jika di perlukan
2.2.4 Implementasi
Pelaksanaan adalah
proses berkelanjutan perencanaan keperawatan oleh perawat (gaffar,2004).hal-hal
yang harus diperhatikan ketika melakukan pelaksanaan adalah melakukan validasi,
penguasaan, keterampilan interpersonal,intelektual dan tehnikal.
Ada tiga fase dalam implementas yaitui:
a.
Fase persiapan meliputi pengetahuan
tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan
mengimplementasikan rencana, persiapan klien,
b.
Fase oprasional merupakan puncak
implementasi yang berorientasi pada tujuan. Implementasi dapat dilakukan dengan
intervensi independen dan dependen atau tidak mandiri, interdependen atau
sering di sebut tindakan kolaborasi
c.
Fase terminasi antara perawat dengan
klien setelah implementasi.
Tujuan
utama dalam pelaksanaan keperawatan
secara umum pada klien dengan fraktur adalah mencakup bertambahnya
istirahat, penghilangan kecemasan, pemahaman mengenai program keperawatan diri,
dan tidak terjadi komplikasi prince
(Wilson 2006)
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses
yang terencana dan sistematis dari mengumpulkan, mengelompokkan, menganalisa
dan membandingkan status kesehatan klien dengan tujuan yang diharapkan, dan
menentukan tingkat pencapaian tujuan. Hal ini merupakan aktifitas yang
berkelanjutan yang meliputi klien, keluarga, perawat dan anggota tim kesehatan
lain.
Langkah evaluasi dari
proses keperwatan mengukur respon klien ke arah pencapaian tujuan. Data
dikumpulkan dengan dasar berkelanjutan untuk mengukur perubahan dalam fungsi,
dalam kehidupan sehari- hari, dan dalam ketersediaan atau sumber eksternal.
Selama evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya
dengan perilaku yang disebutkan pada criteria hasil.